Luanda, February 2013
Mobil Fortuner yang kami tumpangi bergoyang-goyang melalui jalan yang berlubang. Di dalam mobil yang didalamnya tercampur bau pewangi mobil rasa lemon dengan bau ketek yang menyengat dari pak supir berkulit hitam asal Angola, ku palingkan wajah ke arah jendela sambil hidungku mencari-cari udara yang tak berbau ketek.
Mobil Fortuner yang kami tumpangi bergoyang-goyang melalui jalan yang berlubang. Di dalam mobil yang didalamnya tercampur bau pewangi mobil rasa lemon dengan bau ketek yang menyengat dari pak supir berkulit hitam asal Angola, ku palingkan wajah ke arah jendela sambil hidungku mencari-cari udara yang tak berbau ketek.
Di luar jendela mobil aku menikmati pemandangan luar biasa yang belum pernah kulihat sebelumnya, Luanda street. Menikmati pemandangan orang-orang yang berjualan dipinggir jalan. Mencari nafkah, sesuap nasi atau segumpal singkong (Mandioca) salah satu makanan utama mereka. Di sepanjang jalan aku menemukan street seller ada dimana-mana bahkan sampai ke tengah jalan berusaha mencegat mobil-mobil yang lewat. Seperti di persimpangan yang tak jauh dari komplek tempat kami tinggal ada penjual karpet yang menjual tiga buah kapet di gulung berwarna merah, hitam dan putih, dan selama satu setengah tahun tak laku-laku, sejak kami tiba di Luandasatu setengah tahun lalu, aku hanya melihat karpet yang itu-itu saja. Tak jauh dari situ ada beberapa penjual buah-buahan dengan ember-ember berisi pisang, nenas, singkong dan sebagainya. Lalu kami melewati penjual air mineral botol, penjual pulsa, sampai pewangi mobil.
Lalu berbelok menuju jalan Samba, yang di sepanjang jalan ini lebih ramai lagi penjual jalanan nya, ada segala macam barang-barang yang dijual, mulai dari makanan termasuk pisang bakar, sate babi sampai ayam goreng yang dimasak di pinggir jalan (dengan menggunakan bekas bagian dari kipas angin yang sudah rusak, kardus-kardus bekas , drum, dan minyak goreng hitam sehitam kulit mereka) sampai perabotan rumah tangga. Ada perempuan-perempuan menjual ikan-ikan yang sudah di ikat serangkai, ada perempuan yang membawa plastik-plastik berisi singkong mentah yang dipotong-potong kecil, enak kata supirku. Ada penjual tas-tas kerja, tissue rolls, ember, sapu, tenda camping, sepeda, sampai ke anak anjing.
Penjual BH/Bra di pinggir jalan
Cara menggendong bayi ala Afrika
Kemudian kami lewati jalanan yang sangat ramai dengan penjual jalanan, ada baju-baju loak yang di sebar di lantai, sepatu-sepatu, sayuran, buah-buahan, penjual telur rebus, tali sepatu dsb. Uniknya hampir semua perempuan Angola menggendong anak kecil, tampak nya perempuan Angola sangat sibuk di rumah dengan suami nya :) Cara menggendong bayi nya pun seperti layaknya cara menggendong anak di Afrika, dengan bayi berada di belakang dan kain panjang yang menahan bayi diikat kan ke dada depan sang ibu. Menurut teman ku yang asli dari Nigeria cara tersebut sangat baik karena sang bayi merasa sangat nyaman dan sang ibu bebas bergerak. Banyak juga aku lihat ibu-ibu disepanjang jalan menyusui anak nya, dengan mengeluarkan salah satu payudara nya keluar, keluar seluruh nya.
Kami juga melewati daerah Slums yang penuh dengan rumah-rumah miskin yang kotor dengan sampah meluap-luap dari mana-mana, ruma-rumah kotak terbuat dari bata, rumah yang banyak tak berpintu, yang hanya menggantungkan sehelai kain, rumah-rumah berdempet-dempet satu sama lain. Pemandangan yang unik juga sering aku lihat orang menjunjung ember-ember berisi air dikepalanya. Orang Angola tak punya air bersih, kata supirku yang bernama Joao, yang beliau sendiri pun tak punya air bersih di rumahnya. Jadi orang-orang lokal yang rata-rata miskin itu mencari-cari sumber air bersih atau bahkan membeli nya.
Kota Luanda yang cantik terlihat dari jauh, dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit nya kadang aku hampir tak percaya dengan apa yang barusan saja aku lewati di jalan tadi. Apalagi ketika kami melewati jalanan daerah Ilha, disebelah kiri persis di pinggir pantai terdapat pathway lebar dan panjang dengan pohon-pohon palem yang khusus dibuat untuk pejalan kaki, pelari, atau sekedar duduk-duduk, yang disebelah kanan jendel aku melihat air laut membentang dengan gedung-gedung tinggi sebagai latar belakang nya, persis seperti gambar-gambar kota di Amerika yang sering aku lihat di TV. Sungguh ironis, begitu kami melewati pemandangan horrible yang tak mengenakkan hati, sekarang aku melihat gedung-gedung tinggi.
Supirku, si Joao yang aku anggap sebagai informan paling terpercaya sedikit pintar berbahasa Inggris, malah tergolong sangat bagus bahasa Inggris nya mengingat jarangnya orang Angola yang mampu berbahasa Inggris. Dengan Joao banyak jalanan yang sudah aku lalui, sampai berjalan kaki di San Paolo di kota yang termasuk daerah berbahaya, dia selalu mengikuti aku dari belakang jika aku berjalan kaki, dia menganggap keselamatan ku pun adalah tanggung jawab nya. Senhor Joao sudah berpulang ke Ilahi, aku pun tak tahu persis apa penyebabnya, sepertinya TBC karena dia sering kali batuk-batuk. Tapi informasi lain aku dengar luka yang membusuk dikaki nya dan dokter tak bisa menyelamatkan nya. Aku sendiri tak pernah tahu kalau dia mempunyai luka dikaki. Ternyata mendengar kematian sudah biasa di negri ini, selama kami tinggal disini, sudah banyak sekali orang-orang yang kudengar bermatian, dari adik pembantu, anak tukang kebun, anak si anu dan istri si anu. Penyebabnya banyak, ada yang di sebabkan malaria, TBC, luka yang tak kunjung sembuh (50% orang Angola terkena Diabetes) dan banyak juga yang tak mengetahui kenapa meninggalnya, dan penyakit yang didiam-diamkan karena menganggap sepele dan tak adanya uang untuk biaya dokter, dsb.
Neighbourhood kami terkesan nyaman, indah dan tenang. Tetangga-tetangga kami selain para orang asing yang bekerja di Angola juga para penduduk lokal yang sangat kaya raya, terlihat dari harga rumah yang mereka tempati, sampai puluhan-puluhan milyar, terlihat juga dari merk-merk mobil mereka, Porche, Hummer, Lamborghini, you name it! Besar sekali perbedaan antara si kaya dan si miskin di negri ini. Jadi dibalik kenyamanan golongan kami yang minoritas ini, terdapat kaum mayoritas yang luar biasa banyak nya menderita. Dibalik Keindahan gedung-gedung kota luanda, terhampar rumah-rumah miskin yang kotor penuh sampah dan penyakit bagaikan karpet. Yang ironis lagi, dibalik kemiskinan mereka, orang-orang Angola adalah orang-orang yang fun, selalu bahagia, selalu tertawa, selalu menari, jadi kalau anda sedang berada di supermarket sampai jalanan, jangan kaget kalau melihat orang menari dari orang tua sampai anak bayi pun bisa menari, dengan atau tanpa musik.
Aku selalu terhibur berada dijalanan di Luanda, seperti nonton TV rasa nya.